Senin, 21 Oktober 2013




Gamelan
Gamelan adalah ensembel musik yang biasanya menonjolkan metalofon, gambang, gendang, dan gong. Istilah gamelan merujuk pada instrumennya / alatnya, yang mana merupakan satu kesatuan utuh yang diwujudkan dan dibunyikan bersama. Kata Gamelan sendiri berasal dari bahasa Jawa gamel yang berarti memukul / menabuh, diikuti akhiran an yang menjadikannya kata benda. Orkes gamelan kebanyakan terdapat di pulau Jawa,MaduraBali, dan Lombok di Indonesia dalam berbagai jenis ukuran dan bentuk ensembel. Di Bali dan Lombok saat ini, dan di Jawa lewat abad ke-18, istilah gong lebih dianggap sinonim dengan gamelan.
Kemunculan gamelan didahului dengan budaya Hindu-Budha yang mendominasi Indonesiapada awal masa pencatatan sejarah, yang juga mewakili seni asli indonesia. Instrumennya dikembangkan hingga bentuknya sampai seperti sekarang ini pada zaman KerajaanMajapahit. Dalam perbedaannya dengan musik India, satu-satunya dampak ke-India-an dalam musik gamelan adalah bagaimana cara menyanikannya. Dalam mitologi Jawa, gamelan dicipatakan oleh Sang Hyang Guru pada Era Saka, dewa yang menguasai seluruh tanah Jawa, dengan istana di gunung Mahendra di Medangkamulan (sekarangGunung Lawu). Sang Hyang Guru pertama-tama menciptakan gong untuk memanggil para dewa. Untuk pesan yang lebih spesifik kemudian menciptakan dua gong, lalu akhirnya terbentuk set gamelan.
Gambaran tentang alat musik ensembel pertama ditemukan di Candi Borobudur,Magelang Jawa Tengah, yang telah berdiri sejak abad ke-8. Alat musik semisal suling bambu, lonceng, kendhang dalam berbagai ukuran, kecapi, alat musik berdawai yang digesek dan dipetik, ditemukan dalam relief tersebut. Namun, sedikit ditemukan elemen alat musik logamnya. Bagaimanapun, relief tentang alat musik tersebut dikatakan sebagai asal mula gamelan.
Penalaan dan pembuatan orkes gamelan adalah suatu proses yang kompleks. Gamelan menggunakan empat cara penalaan, yaitu sléndropélog, "Degung" (khusus daerah Sunda, atau Jawa Barat), dan "madenda" (juga dikenal sebagai diatonis, sama seperti skala minor asli yang banyak dipakai di Eropa.
Musik Gamelan merupakan gabungan pengaruh seni luar negeri yang beraneka ragam. Kaitan not nada dari Cina, instrumen musik dari Asia Tenggara, drum band dan gerakkan musik dari India, bowed string dari daerah Timur Tengah, bahkan style militer Eropa yang kita dengar pada musik tradisional Jawa dan Bali sekarang ini.
Interaksi komponen yang sarat dengan melodi, irama dan warna suara mempertahankan kejayaan musik orkes gamelan Bali. Pilar-pilar musik ini menyatukan berbagai karakter komunitas pedesaan Bali yang menjadi tatanan musik khas yang merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sehari-hari.
Namun saat ini gamelan masih digunakan pada acara-acara resmi seperti pernikahan, syukuran, dan lain-lain. tetapi pada saat ini, gamelan hanya digunakan mayoritas masyarakat Jawa, khususnya Jawa Tengah.
Contoh-contoh Gamelan Jawa
1. Bonang 

2. Demung

3. Gambang

4.Gender
5. Gong


 6. Gendang
7. Kethuk,kenong

8. Rebab

 9. Siter
 10. Slenthem
 11. Suling

https://www.google.com/search?q=contoh+gamelan+jawa&source=lnms&tbm=isch&sa=X&ei=ReBlUsb2L6KziAfjgoGgAw&ved=0CAcQ_AUoAQ&biw=1024&bih=513#q=suling&tbm=isch&imgdii=_

Kamis, 17 Oktober 2013

Aksara jawa


Aksara Jawa


Aksara Jawa (atau dikenal dengan nama hanacaraka (aksara Jawa) atau carakan (aksara Jawa: ꦕꦫꦏꦤ꧀)) adalah aksara jenis abugida turunan aksara Brahmi (yang merupakan turunan dari aksara Assyiria) yang digunakan atau pernah digunakan untuk penulisan naskah-naskah berbahasa Jawa, bahasa Makasar, (Pasar), bahasa Sunda[1], dan bahasa Sasak[1]. Bentuk aksara Jawa yang sekarang dipakai (modern) sudah tetap sejak masa Kesultanan Mataram (abad ke-17) tetapi bentuk cetaknya baru muncul pada abad ke-19.  Aksara ini adalah modifikasi dari aksara Kawi atau dikenal dengan Aksara Jawa Kuno yang juga merupakan abugida yang digunakan sekitar abad ke-8 – abad ke-16. Aksara ini juga memiliki kedekatan dengan aksara Bali. Nama aksara ini dalam bahasa Jawa adalah Dentawiyanjana.
Dalam susunan abjad Jawa di atas belum ada penggolongan serta pemisahan aksara Murda seperti yang dikenal sekarang dalam setiap susunan abjad Jawa, dalam susunan abjad Jawa pra Islam di atas masih ditemukan beberapa aksara yang keberadaanya wajib hadir untuk menuliskan kata – kata Jawa kuna, dan aksara – aksara tersebut pada susunan aksara Jawa – Islam sedikit mengalami perubahan terutama sekali setelah adanya peran pemerintah kolonial Belanda untuk meresmikan tata eja aksara Jawa kala itu. Perubahan tersebut menghasilkan pengelompokan aksara Murda seperti yang dikenal sampai saat ini.

Dalam susunan abjad Jawa di atas belum ada penggolongan serta pemisahan aksara Murda seperti yang dikenal sekarang dalam setiap susunan abjad Jawa, dalam susunan abjad Jawa pra Islam di atas masih ditemukan beberapa aksara yang keberadaanya wajib hadir untuk menuliskan kata – kata Jawa kuna, dan aksara – aksara tersebut pada susunan aksara Jawa – Islam sedikit mengalami perubahan terutama sekali setelah adanya peran pemerintah kolonial Belanda untuk meresmikan tata eja aksara Jawa kala itu. Perubahan tersebut menghasilkan pengelompokan aksara Murda seperti yang dikenal sampai saat ini.


    hana caraka (ana utusan)
    data (sabanjuré) sawala (= suwala –kêrêngan)
    pada jayanya (babag kekuwatané)
    maga (ma‐ang‐ga) batanga (bangké) = mangawak bangké = palastra !

Dalam periode ini, pengertian aksara Murda masih belum disamakan dengan huruf kapital seperti halnya dalam tulisan Latin, namun keberadaan aksara Murda yang dipisahkan dari susunan huruf Jawa dasar (nglegana) karena merupakan aksara lama yang keberadaannya tetap dipertahankan, dan penggunaan aksara ini masih sama seperti pada aksara Jawa – Hindu.

Kemudian periode ini juga ditandai dengan digunakannya aksara rekan untuk menyesuaikan penulisan kata-kata Arab yang sudah mulai dikenal masyarakat Jawa kala itu dengan semakin intensifnya dakwah Islam di tanah Jawa

Pasangan


Tari Tayub atau Tayuban


Seni Pagelaran Tayub
Tayub merupakan salah satu kesenian Jawa yang mengandung unsur keindahan dan keserasian gerak. Tarian ini mirip dengan tari Jaipong dari Jawa Barat ataupun Gambyong dari Jawa Tengah. Unsur keindahan diiikuti dengan kemampuan penari dalam melakonkan tari yang dibawakan.
Kesenian Tayub sudah tidak asing lagi di dunia seni pertunjukkan, kesenian tayub merupakan ciri khas dari daerah Jawa Tengah dan sekitarnya. Tari Tayub adalah seni Pertunjukan yang dianggap sebagai kesenian rakyat yang muncul pertama kali pada jaman kerajaan Singosari, namun seiring perjalanan seni pertunjukan tayub sering mengalami pasang surut sesuai dengan zaman. Kesenian Tayub pada saat sekarang juga masih banyak dijumpai di acara – acara hajatan, khitanan, pernikahan, sedekah bumi, dll. Kesenian Tayub ini merupakan bentuk tari pergaulan berpasangan antara penari wanita ( ledhek ) dengan penari pria ( penayub)
Pada jaman dahulu tari Tayub masih bersifat sakaral tapi seiring dengan berjalannya waktu dan bergesernya zaman fungsi tari Tayub menjadi sebuah tarian hiburan yang bersifat sekuler.
 Fungsi sakral atau Religius dari tari tayub dapat dilacak pada fungsi asli tayub sebagai upacara ritual untuk kesuburan, ini bisa dilihat dari ciri – cirinya antara lain :
Waktu pelaksanaan tertentu / terpilih.
Tempat pelaksanaan terpilih.
Penari terpilih.
Seni keindahan tarian dari Pagelaran Tayuban
Pada saat ini fungsi tayub bergeser ke arah yang lebih menghibur ini dapat dilihat dari acara – acara hajatan yang sering mengadakan pertunjukan tayub, saat ini memang tayub merupakan ungkapan kegembiraan serta bagian dari pesta rakyat. Kesenian tayub ini masih bisa kita jumpai di daerah sekitar Jawa Tengah dan Jawa Timuran, seperti di daerah Magelang, Blora, Pati, Rembang, Banyumas, Nganjuk, dll, apalagi pada hari-hari baik dalam perhitungan/penanggalan Jawa. Disetiap daerah-daerah tertentu, Pementasan Tayub ini sudah berbeda-beda dalam penyajiannya, seperti Tayub di Pati yang memang berbeda dengan tarian sejenis dari daerah lain—Blora misalnya. Perbedaannya terletak pada penggarapannya, dari gending sampai tatanan pertunjukan di panggung. Gending tayub Pati lebih cokekan (musiknya lebih keras) ketimbang yang mengalun di daerah Blora. Alhasil, goyangannya pun lebih hot. Pesona itulah yang membuat tayub di sana bisa bertahan dan membuat para prianya keranjingan, serta membuat pamor Tayub di Pati masih berkibar-kibar.
Namun pada era-era ini kesenian tayub mulai meredup,  redupnya tayub bisa didekati dari ketiadaan upaya pelestarian seni budaya lokal. Masuknya kebudayaan-kebudayaan barat sedikit banyak membuat Tayub ini menjadi redup,  Tantangan yang perlu dihadapi tidaklah ringan karena harus dihadapkan oleh persaingan budaya modern serta ekspansi budaya barat. Bila tidak diuri – uri sedini mungkin kesenian ini akan punah, oleh karena itu regenerasi harus terus berjalan dengan baik.
Berikut ini beberapa lagu-lagu atau tembang-tembang Tayub dari berbagai daerah-daerah tertentu, seperti: Tayub Pati, Tayub Sragen, Tayub Tuban, Tayub Lumajang, dll. Anda pasti akan bisa menilai sendiri mengenai perbedaan-perbedaan dari kesenian Tayub ini di masing-masing daerah-daerah tertentu tersebut. Bagi yang ingin mengunduh ataupun mendengarkan MP3 & Video Kesenian Tayub ini, silahkan download dibawah ini >>
Tayub Nganjuk
Tayub Tuban

Dan ada saji – sajian.



Panglaris
“Anyar ya mas nang kene, aku bola bali liwat kene lagi wae ngerti ana angkringan nang papan kene?”
Paimin sing lagi ndingkluk ngantuk-antuk mak jenggerat kaget. Sanajan isih sore nanging thenguk-thenguk nunggu wong tuku ora teka-teka njalari ngantuk. Dadi dheweke kaget nalika ana pawongan neng ngarep rahine lagi mangan cakar.
“Ohhhh, nggih pak, nembe seminggu wonten mriki.”
“Kok sepi ngene mas. Iki, enak tenan iki cakare. Masak dhewe iki, Mas,” pitakone karo ora leren olehe ngrumuti cakar.
“Masak piyambak, Pak.”
“Enak tenan iki mas, menawa akeh sing ngerti angkringanmu iki mesthi ramene. Cakar iki bisa dadi jalaran ngramekake angkringanmu iki.”
“Niku rak cakar biasa tha Pak, cakar pithik. Sanes panglaris. Pundi saget ndadosake kathah tiyang jajan mriki.”
“Maksudku kuwi ora ngono mas. Sinten asmane sampeyan?
“Kula, Paimin, Pak.”
“Maksudku ora ngono, Mas Min. Cakar iki enak. Aku kawit cilik seneng mangan cakar amarga mangane kudu telaten. Digrumuti siji-siji iki sikil pithik sing cilik-cilik iki. Merga sikil pithik kuwi ujude kaya oyot wit-witan, ngendikane ibuku biyen, mengko menawa wis gedhe sikilku bakal pengkuh. Kaya wit- witan kae. Janjane ora bener. Mung dhek jaman aku cilik, ibuku bisane nukokake lawuh mung sikil pithik kaya ngene iki. Kuwi sebabe aku seneng mangan cakar nganti umurku samene. Nganti aku dadi dosen saiki, isih seneng mangan cakar. Menawa arep nemu cakar lungaku menyang akringan. Ngono, Mas Min, he he he,” bapak kuwi mau cerita akeh-akeh karo guyonan.
Paimin, seneng ngrungokake. Guneme bapak kuwi mau isi lan sajake wong pinter. Katon seka nyandange lan tindak tandhuke.
“Terus niku wau Pak, bab cakar sing dados panglaris niku wau. Cakare dinapakake, Pak? Napa dijur alus terus disebarke sekitar mriki napa pripun?”
“Ha ha ha ha,” bapake malah ngguyu seru. Paimin dadi bingung dhewe.
“Ora ngono, Mas Min. Menawa mangkono kuwi mau panglaris jamane simbah-simbah. Saiki wis bedha. Panglarise kudu nututi jaman,” wangsulane bapake.
“ Saiki ngene wae, Mas. Panglaris sik tak omongke kuwi mau, bakal tak jlentrehake marang Mas Min. Nanging ora sepisanan wengi iki. Tak omongke sethithik-sethitik ning lakonana. Mengko tak jamin angkringanmu rame. Piye, saguh ora?”
“Terus mangkih kula mbayar pinten, Pak? pitakone Paimin.”
“ Ha ha ha ha,” bapake ngguyu maneh. Malah tambah seru. Katon bungah atine.
“Ora perlu mbayar. Nanging sampeyan kudu manut lan saguh nglakoni.”
“Nggih pak, kula manut. Pokoke lantaran dodolan kula laris, kula manut Bapak!”
“Ya wis. Menawa sampeyan manut karo aku.”
Bapak sing sajake wong apik trus pinter iku banjur aweh pitutur marang Paimin. Jare syarate sing sepisanan kudu dilakoni Paimin, Paimin yen bakulan kudu rapi. Klambi dilebokake, nganggo sepatu. Setlikanan. Sanajan sandhangane ora apik banget ora ngapa-ngapa. Waton kabeh katon resik lan apik. Ora semrawut. Rambute kudu Klimis. Sing saiki rada dawa awul awulan kuwi dipotong ndisik. Diminyaki. Minyak murahan ora ngapa-ngapa, sing penting kena dienggo ngatur rambute.
Uwis ngono, tambah nganggo wewangen, men sing padha tuku ora semaput mambu kringet kecut. Bakul angkringan kuwi cedhak karo geni, panas, njalari kringeten. Mengko menawa sing tuku akeh, kudu mlaku rana rene. Ngeterke wedang lan liya-liyane, mengko nek ambumu kuwi ora mbetahi, sing padha tuku bisa-bisa bubar kabeh. Kabeh kuwi mau men sing padha tuku nang angkringan iki ora jijik karo bakule. Disawang kepenak lan nyenengake. Wong bakulan menawa katon kusut tur mbeyeyet, ora sumringah, njalari males wong sing arep mampir. Menawa wis kebacut mampir kapok.
Kuwi mau syarat sing sepisanan. Paimin sing kepingin mbuktekake panglarise bapake uga semangat banget. Esuke, sandhangan sing arep dienggo mengko sore, dikumbah. Awan garing banjur disetlika. Sepatune sing katon wus rada elek diresiki resik. Dilap nganggo banyu wis dirasa cukup, wong dheweke ora duwe semir sepatu. Kabeh kuwi mau dicepakake, siap dienggo mengko sore, Ngendikane bapake arep teka maneh. Arep menehi syarat panglaris liyane.
Bar magrib bapake teka maneh. Ora mung dhewekan. Bapake nggawa kanca. Wong loro. Paimin seneng wae, merga saya akeh kanca-kancane bapak kuwi sing diajak moro, berarti dodolane sansaya akeh sing payu. Paimin mesem.
Bapake teka meneng wae, langsung mangan cakar, anteng. Sajak nikmati olehe mangan. Sing ndeleng kana kene malah kancane sing loro kuwi mau. Banjur malah ngajak tetakonan marang Paimin. Suwe-suwe kok tekan anggone Paimin nyandhang. “Sampeyan bakul nyentrik, Mas. Walah-walah, lagi saiki aku ketemu karo bakul angkringan sing rapi kaya ngene, ya ora Mas No,” karo noleh kancane sing siji. Pawongan kuwi kok sajak ngoda. Paimin meneng wae. Arep wangsulan kok ora ngerti kudu wangsulan apa, kepriye. Nyandhang kaya mangkana dheweke wis krasa ora bebas. Rasane wagu, saknyatane ya apik. Mau dheweke sempat ngaca nalika liwat omah sing kacane riben. Jebul kok dheweke kuwi bagus.
“Ora, Mas, ora apa apa. Apik kok. Aku seneng ana bakul nyenengake disawang kaya sampeyan niku. Resik, apik.”
Paimin wangsulan semu mesem, niki rak kangge nampi panglaris saking Pak niku tho pak,” Paimin karo ngarahke dagune marang bapake sing lagi anteng mangan sate. Bapake meneng wae. Kancane sing pitakonan karo Paimin kuwi mau mung ngguya ngguyu, noleh marang bapake karo nepuk-nepuk pundhake.
Nalika bapake arep muleh, kancane wis mlaku ngadoh, dheweke nyedhaki Paiman. “Apik mas, seneng aku. Sampeyan wis manut. Saiki tak kandhani panglaris sawise sampeyan nglakoni sing sepisan niku.” Bapak kuwi mau banjur ngendika sethithik tapi diturut tenan karo Paimin, sebab dheweke mikir, mesthi sesuk dheweke teka maneh, tur nggawa kanca.
Wiwit sesuk, menawa Paimin dodolan, kabeh kudu resik. Panganane, uga piring lan piranti liyane.Ngendika mangkana bapake langsung lunga nyusul kanca-kancane. ”Eh mas, natane sing apik,” Wis karo mlaku, bapake isih merlokake noleh marang Paimin. Paimin mikir mbokmenawa resik kuwi mau dienggo syarat kanggo nampa panglaris, dilakoni wae dening Paimin. Sesuke, angkringane Paimin kinclong tenan. Kabeh barang resik. Ngature barang uga apik. Ora semrawut. Rada wengi, bapake teka maneh nggawa kanca. Ora suwe disusul karo kancane sing wingi, kancane kuwi mau ya nggawa kanca liya. Paimin seneng banget. Dodolane mesti cepet enthek.
Bengi kuwi bapake ngendika maneh marang Paimin. “Mas, Min, iki sesuk angkringanmu mesti bakal rame. Mas Min mesti butuh papan sing luwih jembar. Mas Min pindah wae, kae rada ngalor kana kae. Sisih kana kae lho, tembunge karo nduduhi panggon sing dikarepake. “Papan jembar kae sapunen, resikana. Sesuk, menawa dodolan karo nggawa klasa. Mengko klasane digelar. dienggo lesehan sapa-sapa sing tuku nang kene.” Bapake njelaske C M,,,karepe marang Paimin.
Sawise tetembungan sing miturut Paimin aji panglaris kuwi, bapake ora langsung melu kanca-kancane. Malah ngajak Paimin…, dudu, dudu ngajak rembukan. Wong sing dingendikaake ora ajeg. Ngalor ngidul ora ana judule. Dasar Paimin, dheweke ya ngrungokake, malah bisa cerita akeh bab sabendinane lan pengalamane. Wong loro padha omong-omongan nganti suwe. “Sampeyan dasare grapyak kok, Mas Min, kuwi kudu Mas Min patrapake nang sapa wae sing tuku nang kene. Kabeh sing tuku disapa. Menawa wis kenal, menawa teka takoni kabare. Uwis, mung kuwi. Kabeh sing wis dilakoni karo Mas Min kawit tak omongi kae aja ditinggalke. Diugemi terus, saklawase bebakulan,” pituture bapake. Paimin manthuk-manthuk sinambi mesam mesem, ning ora kumecap.
“Terus kapan kula nampi panglarise, Pak?” pitakone Paimin.
Bapake sajak kaget, banjur ngguyu kepingkel-pingkel. Nanging banjur bapake ngedika,” Wis, Mas Min, wis tak turunke. Panglaris iku mau ya kabeh sing tak omongke marang Mas Min, ya kuwi kunci bebakulan.


Budaya Jawa

Wayang wong, mujudaké salah sawijining budaya Jawa
Budaya Jawa iku pranataning uripé wong Jawa nuju kasampuraning jalma manungsa. Pranatan iki tegesé pangertèn lan cara. Pangertèn bab urip nuduhaké sapa sejatinging manungsa iku, jejer lan kewajibané. Déné cara nuduhaké pakeming tumindak ingpurwamadya, lan wusana ning kahanan. Uripé wong Jawa tansah njaga larasing swasana. Dadi kabèh pérangané urip kaya ta pribadiné dhéwé, liyan, alam, lan apa waé sing ana sakliyané dhèwèké kudu isa nampa lan nyengkuyung budiné sing nuju marang kasampurnaning urip.
Sub Budaya Jawa
Jawa Wétanan
Kanggo tulisan sabanjuré, pirsani Budaya Jawa Wetan
Sub budaya Jawa Wétanan iku sing umumé ana ing provinsi Jawa Wétan. Sub budaya iki sebagéyan dipengaruhi budaya Madura lan sebagéyan manèh isih nganut budaya Jawa kuna, Tuladhané kaya déné sing dianut suku Tengger lan suku Osing.
Jawa Tengahan
Kanggo tulisan sabanjuré, pirsani Budaya Jawa Tengah
Sub budaya Jawa Tengahan iku ana ing sisih wétan provinsi Jawa Kulon lan sisih kuloné Jawa Wétan. Umumé dipengaruhi budaya sing urip ning kratonan.


Jawa Banyumasan
Kanggo tulisan sabanjuré, pirsani Budaya Banyumasan
Sub budaya Jawa Banyumasan iku ana ing sisih kulon provinsi Jawa Tengah. Sub budaya iki luwih prasaja lan nganut nilai-nilai egaliter,cablaka lan baworan.

Rabu, 09 Oktober 2013


Tembang Macapat
1. MIJIL
Mijil artinya lahir. Hasil dari olah jiwa dan raga laki-laki dan perempuan menghasilkan si jabang bayi. Setelah 9 bulan lamanya berada di rahim sang ibu, sudah menjadi kehendak Hyang Widhi si jabang bayi lahir ke bumi. Disambut tangisan membahana waktu pertama merasakan betapa tidak nyamannya berada di alam mercapadha. Sang bayi terlanjur enak hidup di zaman dwaparayuga, namun harusnetepi titah Gusti untuk lahir ke bumi. Sang bayi mengenal bahasa universal pertama kali dengan tangisan memilukan hati. Tangisan yang polos, tulus, dan alamiah bagaikan kekuatan getaranmantra tanpa tinulis. Kini orang tua bergembira hati, setelah sembilan bulan lamanya menjaga sikap dan laku prihatin agar sang rena (ibu) dan si ponang (bayi) lahir dengan selamat. Puja puji selalu dipanjat agar mendapat rahmat Tuhan Yang Maha Pemberi Rahmat atas lahirnya si jabang bayi idaman hati.
2. MASKUMAMBANG
Setelah lahir si jabang bayi, membuat hati orang tua bahagia tak terperi. Tiap hari suka ngudang melihat tingkah polah sang bayi yang lucu dan menggemaskan. Senyum si jabang bayi membuat riang bergembira yang memandang. Setiap saat sang bapa melantunkan tembang pertanda hati senang dan jiwanya terang. Takjub memandang kehidupan baru yang sangat menantang. Namun selalu waspada jangan sampai si ponang menangis dan demam hingga kejang. Orang tua takut kehilangan si ponang, dijaganya malam dan siang agar jangan sampai meregang. Buah hati bagaikan emas segantang. Menjadi tumpuan dan harapan kedua orang tuannya mengukir masa depan. Kelak jika sudah dewasa jadilah anak berbakti kepada orang tua, nusa dan bangsa.
Tembang maskumambang ngemu sifat : ngeres, nelangsa.
3. KINANTI
Semula berujud jabang bayi merah merekah, lalu berkembang menjadi anak yang selalu dikanthi-kanthi kinantenan orang tuannya sebagai anugrah dan berkah. Buah hati menjadi tumpuan dan harapan. Agar segala asa dan harapan tercipta, orang tua selalu membimbing dan mendampingi buah hati tercintanya. Buah hati bagaikan jembatan, yang dapat menyambung dan mempererat cinta kasih suami istri. Buah hati menjadi anugrah ilahi yang harus dijaga siang ratri. Dikanthi-kanthi (diarahkan dan dibimbing) agar menjadi manusia sejati. Yang selalu menjaga bumi pertiwi.
Tembang kinanthi ngemu sifat : tresna, asih, seneng.


4. SINOM
Sinom isih enom. Jabang bayi berkembang menjadi remaja sang pujaan dan dambaan orang tua dan keluarga. Manusia yang masih muda usia. Orang tua menjadi gelisah, siang malam selalu berdoa dan menjaga agar pergaulannya tidak salah arah. Walupun badan sudah besar namun remaja belajar hidup masih susah. Pengalamannya belum banyak, batinnya belum matang, masih sering salah menentukan arah dan langkah. Maka segala tindak tanduk menjadi pertanyaan sang bapa dan ibu. Dasar manusia masih enom (muda) hidupnya sering salah kaprah.
Tembang sinom ngemu sifat : grapyak.
5. DHANDHANGGULA
Remaja beranjak menjadi dewasa. Segala lamunan berubah ingin berkelana. Mencoba hal-hal yang belum pernah dirasa. Biarpun dilarang agama, budaya dan orang tua, anak dewasa tetap ingin mencobanya. Angan dan asa gemar melamun dalam keindahan dunia fana. Tak sadar jiwa dan raga menjadi tersiksa. Bagi anak baru dewasa, yang manis adalah gemerlap dunia dan menuruti nafsu angkara, jika perlu malah berani melawan orang tua. Anak baru dewasa, remaja bukan dewasa juga belum, masih sering terperdaya bujukan nafsu angkara dan nikmat dunia. Sering pula ditakut-takuti api neraka, namun tak akan membuat sikapnya  menjadi jera. Tak mau mengikuti kareping rahsa, yang ada selalu nguja hawa. Anak dewasa merasa rugi bila tak mengecap manisnya dunia. Tak peduli orang tua terlunta, yang penting hati senang gembira. Tak sadar tindak tanduknya bikin celaka, bagi diri sendiri, orang tua dan keluarga. Cita-citanya setinggi langit, sebentar-sebentar minta duit, tak mau hidup irit. Jika tersinggung langsung sengit. Enggan berusaha yang penting apa-apa harus tersedia. Jiwanya masih muda, mudah sekali tergoda api asmara. Lihat celana saja menjadi bergemuruh rasa di dada. Anak dewasa sering bikin orang tua ngelus dada. Bagaimanapun juga mereka buah dada hati yang dicinta. Itulah sebabnya orang tua tak punya rasa benci kepada pujaan hati. Hati-hati bimbing anak muda yang belum mampu membuka panca indera, salah-salah justru bisa celaka semuanya
Tembang dhandhanggula ngemu sifat : luwes, ngresepake.
6. ASMARANDANA
Asmaradana atau asmara dahana yakni api asmara yang membakar jiwa dan raga. Kehidupannya digerakkan oleh motifasi harapan dan asa asmara. Seolah dunia ini miliknya saja. Membayangkan dirinya bagaikan sang pujangga atau pangeran muda. Apa yang dicitakan haruslah terlaksana, tak pandang bulu apa akibatnya. Hidup menjadi terasa semakin hidup lantaran gema asmara membahana dari dalam dada. Biarlah asmara membakar semangat hidupnya, yang penting jangan sampai terlena. Jika tidak, akan menderita dikejar-kejar tanggungjawab hamil muda. Sebaliknya akan hidup mulia dan tergapai cita-citanya. Maka sudah menjadi tugas orang tua membimbing mengarahkan agar tidak salah memilih idola. Sebab sebentar lagi akan memasuki gerbang kehidupan baru yang mungkin akan banyak mengharu biru. Seyogyanya suka meniru tindak tanduk sang gurulaku, yang sabar membimbing setiap waktu dan tak pernah menggerutu. Jangan suka berpangku namun pandailah  memanfaatkan waktu. Agar cita-cita dapat dituju. Asmaradana adalah saat-saat yang menjadi penentu, apakah dirimu akan menjadi orang bermutu, atau polisi akan memburu dirimu. Salah-salah gagal menjadi menantu, malah akan menjadi seteru.
Tembang asmarandana ngemu sifat : kesemsem.
7. GAMBUH
Gambuh atau Gampang Nambuh, sikap angkuh serta acuh tak acuh, seolah sudah menjadi orang yang teguh, ampuh dan keluarganya tak akan runtuh. Belum pandai sudah berlagak pintar. Padahal otaknya buyar matanya nanar merasa cita-citanya sudah bersinar. Menjadikannya tak pandai melihat mana yang salah dan benar. Di mana-mana ingin diakui bak pejuang, walau hatinya tak lapang. Pahlawan bukanlah orang yang berani mati, sebaliknya berani hidup menjadi manusia sejati. Sulitnya mencari jati diri kemana-mana terus berlari tanpa henti.  Memperoleh sedikit sudah dirasakan banyak, membuat sikapnya mentang-mentang bagaikan sang pemenang. Sulit mawas diri, mengukur diri terlalu tinggi. Ilmu yang didapatkannya seolah menjadi senjata ampuh tiada tertandingi lagi. Padahal pemahamannya sebatas kata orang. Alias belum bisa menjalani dan menghayati. Bila merasa ada  yang kurang, menjadikannya sakit hati dan rendah diri. Jika tak tahan ia akan berlari menjauh mengasingkan diri. Menjadi pemuda pemudi yang jauh dari anugrah ilahi. Maka, belajarlah dengan teliti dan hati-hati. Jangan menjadi orang yang mudah gumunan dan kagetan. Bila sudah paham hayatilah dalam setiap perbuatan. Agar ditemukan dirimu yang sejati sebelum raga yang dibangga-banggakan itu menjadi mati.
Tembang gambuh ngemu sifat : semanak, lucu, guyon.
8. DURMA
Munduring tata krama. Dalam cerita wayang purwa dikenal  banyak tokoh dari kalangan “hitam” yang jahat. Sebut saja misalnya Dursasana, Durmagati,Duryudana. Dalam terminologi Jawa dikenal berbagai istilah menggunakan suku kata dur/ dura (nglengkara) yang mewakili makna negatif (awon). Sebut saja misalnya : duraatmokodurokodursiladura sengkaraduracara (bicara buruk), durajaya,dursahasyadurmaladurnitidurtadurtamaudur, dst.  Tembang Durma, diciptakan untuk mengingatkan sekaligus  menggambarkan keadaan manusia yang cenderung berbuat buruk atau jahat. Manusia gemar udur atau cekcok, cari menang dan benernya sendiri, tak mau memahami perasaan orang lain. Sementara manusia cendrung mengikuti hawa nafsu yang dirasakan sendiri (nuruti rahsaning karep). Walaupun merugikan orang lain tidak peduli lagi. Nasehat bapa-ibu sudah tidak digubris dan dihiraukan lagi. Lupa diri selalu merasa iri hati. Manusia walaupun tidak mau disakiti, namun gemar menyakiti hati. Suka berdalih niatnya baik, namun tak peduli caranya yang kurang baik. Begitulah keadaan manusia di planet bumi, suka bertengkar, emosi, tak terkendali, mencelakai, dan menyakiti. Maka hati-hatilah, yang selalu eling dan waspadha.
Tembang durma ngemu sifat : galak, nesu.
9. PANGKUR
Bila usia telah uzur, datanglah penyesalan. Manusia menoleh kebelakang (mungkur) merenungkan apa yang dilakukan pada masa lalu. Manusia terlambat mengkoreksi diri, kadang kaget atas apa yang pernah ia lakukan, hingga kini yang ada  tinggalah menyesali diri. Kenapa dulu tidak begini tidak begitu. Merasa diri menjadi manusia renta yang hina dina sudah tak berguna.  Anak cucu kadang menggoda, masih meminta-minta sementara sudah tak punya lagi sesuatu yang berharga. Hidup merana yang dia punya tinggalah penyakit tua. Siang malam selalu berdoa saja, sedangkan raga tak mampu berbuat apa-apa.  Hidup enggan mati pun sungkan. Lantas bingung mau berbuat apa. Ke sana-ke mari ingin mengaji, tak tahu jati diri, memalukan seharusnya sudah menjadi guru ngaji. Tabungan menghilang sementara penyakit kian meradang. Lebih banyak waktu untuk telentang di atas ranjang. Jangankan teriak lantang, anunya pun sudah tak bisa tegang, yang ada hanyalah mengerang terasa nyawa hendak melayang. Sanak kadhang enggan datang, karena ingat ulahnya di masa lalu yang gemar mentang-mentang. Rasain loh bentar lagi menjadi bathang..!!
Tembang pangkur ngemu sifat : nepsu kang prihatin.
10. MEGATRUH
Megat ruh, artinya putusnya nyawa dari raga. Jika pegat tanpa aruh-aruh. Datanya ajal akan tiba sekonyong-konyong. Tanpa kompromi sehingga manusia banyak yang disesali.  Sudah terlambat untuk memperbaiki diri. Terlanjur tak paham jati diri. Selama ini menyembah tuhan penuh dengan pamrih dalam hati, karena takut neraka dan berharap-harap pahala surga. Kaget setengah mati saat mengerti kehidupan yang sejati. Betapa kebaikan di dunia menjadi penentu yang sangat berarti. Untuk menggapai kemuliaan yang sejati dalam kehidupan yang azali abadi. Duh Gusti, jadi begini, kenapa diri ini sewaktu masih muda hidup di dunia fana, sewaktu masih kuat dan bertenaga, namun tidak melakukan kebaikan kepada sesama. Menyesali diri ingat dulu kala telah menjadi durjana. Sembahyangnya rajin namun tak sadar sering mencelakai dan menyakiti hati sesama manusia. Kini telah tiba saatnya menebus segala dosa, sedih sekali ingat tak berbekal pahala. Harapan akan masuk surga, telah sirna tertutup bayangan neraka menganga di depan mata. Di saat ini manusia baru menjadi saksi mati, betapa penyakit hati menjadi penentu dalam meraih kemuliaan hidup yang sejati. Manusia tak sadar diri sering merasa benci, iri hati, dan dengki. Seolah menjadi yang paling benar, apapun tindakanya ia merasa paling pintar,  namun segala keburukannya dianggapnya demi membela diri.  Kini dalam kehidupan yang sejati, sungguh baru bisa dimengerti, penyakit hati sangat merugikan diri sendiri. Duh Gusti…!
Tembang megatruh ngemu sifat : getun, nglangut.
11. POCUNG
Pocung atau pocong adalah orang yang telah mati lalu dibungkus kain kafan. Itulah batas antara kehidupan mercapadha yang panas dan rusak dengan kehidupan yang sejati dan abadi. Bagi orang yang baik kematian justru menyenangkan sebagai kelahirannya kembali, dan merasa kapok hidup di dunia yang penuh derita. Saat nyawa meregang, rasa bahagia bagai lenyapkan dahaga mereguk embun pagi. Bahagia sekali disambut dan dijemput para leluhurnya sendiri. Berkumpul lagi di alam yang abadi azali. Kehidupan baru setelah raganya mati.
Tak terasa bila diri telah mati. Yang dirasa semua orang kok tak mengenalinya lagi. Rasa sakit hilang badan menjadi ringan. Heran melihat raga sendiri dibungkus dengan kain kafan.  Sentuh sana sentuh sini tak ada yang mengerti. Di sana-di sini ketemu orang yang menangisi. Ada apa kok jadi begini, merasa heran kenapa sudah bahagia dan senang kok masih ditangisi. Ketemunya para kadhang yang telah lama nyawanya meregang. Dalam dimensi yang tenang, hawanya sejuk tak terbayang. Kemana mau pergi terasa dekat sekali. Tak ada lagi rasa lelah otot menegang. Belum juga sadar bahwa diri telah mati. Hingga beberapa hari barulah sadar..oh jasad ini telah mati. Yang abadi tinggalah roh yang suci.
Sementara yang durjana, meregang nyawa tiada yang peduli. Betapa sulit dan sakit meregang nyawanya sendiri, menjadi sekarat yang tak kunjung mati. Bingung kemana harus pergi, toleh kanan dan kiri  semua bikin gelisah hati.  Seram mengancam dan mencekam. Rasa sakit kian terasa meradang. Walau mengerang tak satupun yang bisa menolongnya. Siapapun yang hidup di dunia pasti mengalami dosa. Tuhan Maha Tahu dan Bijaksana tak pernah luput menimbang kebaikan dan keburukan walau sejumput. Manusia baru sadar, yang dituduh kapir belum tentu kapir bagi Tuhan, yang dianggap sesat belum tentu sesat menurut Tuhan.  Malah-malah yang suka menuduh  menjadi tertuduh. Yang suka menyalahkan justru bersalah. Yang suka mencaci dan menghina justru orang yang hina dina. Yang gemar menghakimi orang akan tersiksa. Yang suka mengadili akan diadili. Yang ada tinggalah rintihan lirih tak berarti, “Duh Gusti pripun kok kados niki…! Oleh sebab itu, hidup kudu jeli, nastiti, dan ngati-ati. Jangan suka menghakimi orang lain yang tak sepaham dengan diri sendiri. Bisa jadi yang salah malah pribadi kita sendiri. Lebih baik kita selalu mawas diri, agar kelak jika mati arwahmu tidak nyasar menjadi memedi.
Tembang pocong ngemu sifat :


SERAT WULANGREH PUPUH 1
DHANDHANGGULA

Jroning Quran nggoning rasa jati (dalam Quran tempat rasa jati)
Nanging ta pilih ingkang uninga (tapi jarang orang tahu)
Nora kena deh awur (keluar dari petunjuk)
Ing satemah nora pinanggih (tak dapat asal-asalan)
Mundhak Katalanjukan  (malah tambah terjerumus)
Temah sasar susur(akhirnya kesasar)
Yen sira ayun waskhita(Kalau kamu ingin peka)
Sampumame badanira puniki (agar hidup sempurna)
Sira Anggegurua (maka bergurulah)
Lamun sira anggeguru kaki (Namun apabila kamu berguru)
Amiliha manungsa kang nyata (Pilihlah manusia yang nyata)
Ingkang becik martabate (yang baik martabatnya)
Serta kang wruh ing ukum (serta yang tahu hukum)
Kang ngibadah sarta wirangi (yang beribadah dan sederhana)
Sukur oleh wong tapa (Sukur dapat bertapa)
Ingkang wus amungkul (yang sudah menanggalkan)
Tan mikir paweweh  ing liyan (pamrih pemberian umum)
Iku pantes sira guranana kaki (itu pantas kamu berguru)
Sarta kawruhana (serta ketahuilah)


Sing Nandur Bakal Ngundhuh

Esuk iki langite katon isih peteng. Pedhute kandel banget lan hawane uga adhem banget. Nanging kuwi kabeh ora hyuda kekarepane Bu Umi kanggo dodol pohong menyang Pasar. Sanadyan gaweyan iku abot nanging Bu Umi ora tau ngresula. Bu Umi saiki mung urip karo putrane sing isih kelas I SMP. Bu Umi ditinggal bojone wis pitung taun suwene, amarga bojone Bu Umin duwe bojo liya. Kuwi uga dadi pawadan ilham putrane Bu Umin luwih-luwih urio melu ibune.
Bu Umi biyasane menyang pasar jam setengah lima esuk, Ilham saben dina ngrewangi ibune nggawa dagangan menyang pasa, amarga pohung sing digawa kira-kira setengah kwintal. Sawise ngeterake dagangan Ilham menyang ngomah kanggo siyap-siyap mangkat Sekolah. Ilham kalebu bocah sing pinter lan sregep, Saengga Ilham bisa sekolah ning SMP sing mutune paling apik lan dadi sekolah unggulan ing kabupaten.
Dina iki dagangan Bu Umi lagi sepi, amarga rendheng saengga akeh pohung sing kebanjiran lan dadi ora enak dipangan. Wektu iki Ilham butuh bayaran kanggo tuku buku lan seragam anyar. Bu Umi mung bisa sabar ngadhepi kuwi kabeh mau lan ngupayaken golek gaweyan liya sing bisa disambi dodol pohung. Bu Umi wis siyap-siyap ngukuti dagangane amarga wis jam sanga esuk, Nanging Bu Umi mandheg sedhela amarga ana bocah cilik nangis neng ngarepe. Bu Umi banjur nyedhaki bocah kuwi mau. 
"Hlo, ngapa nangis, Ndhuk?" pitakone Bu Umi marang bocah kuwi.
"Aku nggoleki ibuku." semaure nganggo basa ngoko amarga durung ngerti basa krama.
"Hla ibumu sapa? Kpriye bisa pisah karo ibumu?" Bu Umi takon maneh marang bocah kuwi karo ngajak lungguhmenyang lincak sing dinggo dodol Bu Umi.
"Aku pengin tumbas permen, aku nggoleki sing dodol permen." semaure bocah kuwi.
"Hla wis sida tuku permen?" pitakone Bu Umi karo njupuk  wedang kanggo bocah kuwi.
Bocah iku mung godheg lan malah tambah banter nangise.
"Oo.. ya wis nunggu ning kene wae karo ngombe wedang iki dhisik. Ibu arep numbasake permen kanggo kowe lan nggoleki ibumu dhisik ya?" welinge Bu Umi menyang bocah kuwi.
Sawise bocah iku meneng nangise, Bu Umi banjur tuku permen sanadyan regane larang Rp. 5000 nanging Bu Umi tetep numbasake permen kanggo bocah kuwi kasebut. Bu Umi ora tega karo bocah sing lagi nangis kuwi. Ing tengah pasar Bu Umi ngerti ibu-ibu sing katon bingung Bu Umi marani ibu-ibu mau.
"Nyuwun sewu menapa panjenengan nembe madosi putranipun?" pitakone Bu Umi mau marang ibu-ibu kuwi.
"Inggih leres, Bu menapa panjenengan mangeryos anak kula?" ibu-ibu mau noleh menyang Bu Umi sing nakoni saka mburine.s putranipun  panjenengan?" pitakone Bu Umi kanthi ngeterake menyang papan sing dinggo dodol Bu Umi.
"Ya ampun Dhuk, kowe ning ning ngendi wae? Ibu sing nggoleki nganti bingung banget." Bu Nurul ngono asmane ibu-ibu kuwi langsung nggendhong anake kuwi mau sing orang nangis.
Bu Umi njlentrehake kadadean mau marang Bu Nurul.
"Matur nuwun sanget nggih Bu, amargi sampun njagi anak kula. "Bu Nurul nyalami tangane Bu Umi kanthi mesem bungah.
"Inggih Bu sami-sami" wangsulane Bu Umi kanthi menehake permen marang bocah kuwi mau.
Sawise Bu Nurul lan anake pamitan arep bali, Bu Umi nerusake nata dagangane sing arep digawa bali. Nalika tata-tata Ilhamm nyusul menyang pasar amarga kepingin mbyantu ibune nggawa dagangan sing isih akeh. Dina iki lagi ana rapat kanggo guru ing sekolahe Ilham.

Saka njero mobil, Bu Nurul isih nggatekake Bu Umi karo Ilham sing nglebokake pohung ning bagor. Ing batine Bu Nurul gumun karo Bu Umi sing gelem tetulung marang wong sing durung tau ketemu.
Esuk-esuk Ilham arep mangkat sekolah nanging atine tansah susah amarga durung bisa mbayar buku lan sragam. Bu Umi ngerti apa kang lagi dirasakake putrane.
“Le, Ibu ngerti kowe lagi susah bayar, amarga bayaranmu kuwi, Nanging Ibu saiki durung duwe dhuwit sing genep kanggo mbayar . Ibu rencanane mengko arep nyilih dhuwit menyang budhemu dhisik, Dadi yen dina iki ibu entuk silihan dhuwit sesuk kowe bisa mbayar buku lan sragam.” Ngendikane Bu Umi marang Ilham.
“Inggih Bu, kula nyuwun ngapunten sampun ndadosaken Ibu susah.”
“Iki wis dadi tanggung jawabe Ibu, dadi kowe ora usah njaluk ngapura.” Bu Umi nglipur putrane supaya ora sedhih maneh
“Nggih Bu, kula badhe mangkat sekolah rumiyin,” Ilham pamitan lan salim marang Ibune.
Nalika sayah ngaso, Ilham menyang perpustakaan ing sekolahe, ing kono uga ana Bu Nurul. Bu Nurul ing sekolahe Ilham amarga Bu Nurul iku garwane kepala sekolah ing kono. Bu Nurul ngerti yen Ilham kuwi putrane Bu Umi amarga wis tau weruh nalika ning pasar.
 Bu Nurul nyawang Ilham kayane lagi susah banjur arep nyedhaki Ilham nanging bel tanda mlebu wis muni. Bu Nurul ora sida nemoni Ilham. Bu Nurul wis bisa ngira-ira yen Ilham lagi mikirake bayaran amarga minggu iki telat-telat mbayar.
Bu Nurul banjur menyang kantor TU lan nakokake bayaran sekolahe Ilham sing durung lunas. Bu Nurul kepingin mbiyantu mbayar buku lan sragame Ilham, nanging sadurunge kudu takon dhisik marang Ilham.
Naliki bali sekolah, Ilham dikon menyang kantor TU kanggo nemoni Bu Burul, amarga durung ngerti apa pawadane dheweke diceluk menyang TU, atine dadi dheg-dhegan. Banjur diterangake yen bayarane arep dilunasi Bu Nurul kanggo wujud matur nuwune marang ibune Ilham. Ilham seneng banget lan njaluk idin arep matur marang ibune dhisik.
Sawise Ilham matur marang ibune, Bu Umi kaget lan kanggo rasa ngurmati Bu Umi menyang sekolahe Ilham lan nakokake piwelinge Bu Nurul rikala wingi Bu Nurul wektuana ing sekolah.
“Bu Umi, kula badhe nyuwun pirsa menapa kula angsal mbiyantu panjenengan anggenipun mbayar buku lan seragamipun Ilham? Menika kangge wujud matur nuwun kula dhateng panjenengan ingkang sampun mbiyantu njaga anak kula wonten peken.” Pitakone Bu Nurul kanthi alus supaya ora nglarani atine Bu Umi.
“Saderengipun matur nuwun, ananging kula menika ikhlas mbiyantu panjenengan lan boten gadhah gegayuhan menapa-menapa.” Ngendikane Bu Umi.
“Inggih Bu, ananging menika ugi kangge bebungah Ilham amargi sampun dados juwara setunggal ing sekolah menika.” Bu Nurul wis ngerti yen Ilham duwe prestasi kang apik lan dhuwur ing sekolah.
“Alhamdulillah menawi kados mekaten, kula mngaturaken matur nuwun sanget awit bebungah menika Bu.” Wangsulane Bu Umi sinambi mbrebes mili.
“Kula ingkang kedahipun ngaturaken matuir nuwun dhateng panjenengan.” Ngendikane Bu Nurul
“Inggih Bu, sami-sami,” Bu Umi lan Bu Nurul banjur salaman.
Bu Umi ora ngira yen tuminake sing kanggone ora sepira kuwi bisa diwales kanthu kaya menakono. Bu Umi tansah percaya yen apa wae dilakoni ing donya iki mesthi bakal diwales kaya sing ditindakake, kaya unen-unen: apa sing ditandur ya kuwi sing bakal diundhuh.
Penulis: Kusmira Dwi Ayuani, Mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa Jawa Universitas Sebelas Maret.